Senin, 03 Juni 2013

MEMBANGUN KEKOMPAKAN GURU

Guru merupakan "mesin" utama sekolah. Kekuatan dan laju perkembangan sekolah ditentukan bukan saja oleh seberapa baik guru yang dimiliki, sebab sekolah melibatkan banyak guru. Padahal sebagai manusia guru memiliki beragam karakter, latar belakang, kemampuan, orientasi, ragam sikap dan tanggung jawab serta gaya dalam mengelola sekolah.
Sekolah sendiri merupakan sebuah sistem, yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang saling berkaitan. Satu unsur saja terganggu atau tidak kompak akan mempengaruhi keseluruhan. Selain tuntutan kompetensi, kinerja sekolah juga ditentukan oleh kualitas kerja sama antar setiap unsur dalam sistem sekolah.
Hal ini dikarenakan guru dan pengelola sekolah harus bekerja sebagai satu tim. Cara kerja dan kinerja satu elemen tenaga di sekolah senantiasa berdampak pada tugas dan fungsi yang lain. Sebagai misal, ketidakkompakan bagian administrasi akan mengganggu kinerja guru; Guru kelas 1 menentukan kinerja guru kelas 2 dan seterusnya. Apalagi bila sekolah menekankan pembentukan karakter siswa, sudah pasti menuntut kerja saja dan dukungan setiap tenaga guru dan pengelola sekolah.
Ibarat kereta yang ditarik oleh 6 ekor kuda, sekolah memerlukan 6 ekor kuda yang mampu berlari dengan kecepatan dan ritme yang sama. Bila satu ekor kuda saja berlari lebih lambat atau lebih kencang dari yang lain, dapat dipastikan akan mengganggu kinerja keseluruhan kereta. Bahkan kecenderungannya, laju kereta akan melambat bukan hanya bila ada satu ekor kuda yang berlari lebih lambat, tetapi bila ada yang berlari lebih kencang dari yang lain.
Guru-guru di suatu sekolah sangat mungkin memiliki perbedaan kompetensi, baik dari segi ragam atau jenis keahlian yang dimiliki maupun dari segi kualitasnya. Perbedaan tersebut perlu dikelola agar melahirkan sinergi dan bukannya sebaliknya, justeru menghambat kinerja sekolah. Di sinilah kekompakan perlu dibangun di kalangan guru dan segenap pengelola sekolah, agar melahirkan sinergi dan bukan menghambat kinerja.
Beberapa usaha diperlukan dalam agar kompetensi guru dapat melahirkan sinergi positif bagi kemajuan sekolah. Beberapa usaha dimaksud di antaranya.
1.   Menentukan Standar Kualifikasi dan Kompetensi
Pemenuhan standar kualifikasi sering kali hanya dikonotasikan dengan formalitas pengalaman pendidikan. Banyak guru yang menempuh kuliah abal-abal hanya dalam rangka memenuhi standar kualifikasi akademik, padahal kompetensi akademik yang sesungguhnya tidak terpenuhi.
Setiap sekolah perlu menetapkan standar kualitas tenaga guru dan pengelolanya agar mampu memberikan jaminan mutu pendidikan yang terukur. Kualitas tenaga menentukan seberapa siap dalam melaksanakan visi dan misi sekolah. Standar tersebut dibuat agar terhindar dari terjadinya kesenjangan dalam hal pola pikir, cara pandang dan cara kerja.
Standar kualifikasi dan kompetensi memungkinkan setiap guru menyesuaikan diri dengan tuntutan professional yang dihadapi. Bagi guru yang belum memenuhi kualifikasi dan kompetensi secara otomatis harus belajar dan berusaha mengembangkan diri hingga mencapai standar yang ditetapkan.
2.   Menentukan SOP
SOP atau Standar Operational Procedure merupakan instrument yang menjadi pedoman mengenai cara-cara dan langkah-langkah kerja bagi segenap guru dan pengelola sekolah. Substansi SOP mencakup semua aspek pengelolaan sekolah, mulai dari bagaimana memperlakukan siswa sejak datang hingga pulang sekolah.
SOP memungkinkan setiap guru dan pengelola sekolah memberikan perlakuan yang sama terhadap siswa-siswinya. Instrumen ini menghindarkan terjadinya perbedaan dalam hal cara bekerja, cara memperlakukan dan menyikapi berbagai persoalan.
Instrumen ini juga menjadi acuan dalam melakukan evaluasi terhadap proses pengelolaan pembelajaran dan kegiatan sekolah secara keseluruhan. Tanpa instrument ini pada dasarnya sekolah akan kesulitan dalam melakukan evaluasi dan judgment. Evaluasi akan selalu bersifat eksploratif, mencari-cari, tanpa patokan yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga tidak dapat memberikan judgment terhadap keberhasilan maupun kegagalan suatu kegiatan, terutama dari segi proses.
3.   Menentukan Standar Kinerja
Standar kinerja merupakan pedoman mengenai hasil kerja yang harus dipenuhi oleh segenap guru. Sebagai profesional, guru harus dapat bekerja berdasarkan kriteria-kriteria yang terukur. Tanpa standar kinerja yang jelas, guru akan menjadi pekerja yang sebenarnya tidak profesional. Padahal sebagai profesional guru seharusnya bekerja berdasarkan kriteria hasil kerja yang terukur.
Ukuran kinerja sebenarnya tidak terbatas pada hasil kerja saja, tetapi juga bisa mencakup proses kerja. Contoh kinerja berdasarkan hasil kerja misalnya, guru dinyatakan berhasil melaksanakan tugas bila 85% siswa-siswinya mampu mencapai KKM yang ditetapkan, dan dinyatakan belum berhasil atau gagal bila belum mencapai standar tersebut. Sedangkan contoh kinerja berdasarkan proses kerja misalnya, guru atau pegawai dinyatakan bekerja dengan baik bila kehadirannya di sekolah sejumlah 95% dari hari efektif.
4.   Penyatuan Visi, Sikap dan Tanggung Jawab
Bagian yang tidak dapat diabaikan dalam upaya membangun kekompakan guru dan pengelola sekolah adalah penyamaan visi, sikap dan tanggung jawab. Upaya ini ditujukan untuk menyatukan cara pandang guru dan pengelola sekolah mengenai apa saja yang harus diwujudkan atau dicapai oleh sekolah melalui berbagai kegiatan di dalamnya. Seluruh tenaga di sekolah menjadikan visi tersebut sebagai tujuan bersama.
Hal yang juga perlu disamakan adalah sikap dan tanggung jawab guru di sekolah. Setiap guru sangat boleh jadi memiliki karakter yang berbeda-beda, tetapi sebagai sebuah tim mereka harus memiliki komitmen yang sama, sehingga dapat menunjukkan sikap dan tanggung jawab yang sama, sehingga mampu bekerja sama dan saling mendukung.
Hambatan-hambata mental seyogyanya dihapuskan sehingga meminimalisir terjadinya konflik dan terganggunya kerja sama tim. Di antara cara yang umum dilakukan adalah melalui pelatihan dinamika tim dan penyelenggaraan forum-forum informal yang ditujukan untuk mencairkan suasana.

Sabtu, 19 Mei 2012

SALAH SIAPA....???


Pemuda adalah harapan bangsa, itulah kalimat klasik yang sering kita dengar sebagai bentuk ungkapan betapa pentingnya peran pemuda bagi eksistensi sebuah bangsa. memang tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan generasi muda yang berkualitas secara intelektual dan sosial spiritual mutlak diperlukan, dalam rangka menuju masyarakat yang maju dan bermartabat.
 
Lembaga pendidikan ( Sekolah ) sebagai salah satu komponen masyarakat memainkan peranan penting dalam hal ini bertindak sebagai Soscial Exchange, karena disinilah terjadi transformasi nilai-nilai kehidupan terjadi secara maksimal dan terencana, sekolah yang berkualitas secara sarana dan prasarana  diharapkan mampu menjadi kawah candradimuka  bagi peserta didik, agar mampu membentuk perserta didik yang terampil, dinamis serta menjadi individu yang memiliki karakter yang kuat.

Namun diluar itu, kenyataan tampaknya masih jauh dari harapan. belum tersedianya fasilitas yang baik terutama bagi sekolah swasta yang tidak mempunyai anggaran dana yang jelas ditambah dengan belum maksimalnya kerja guru membuat perilaku sebagaian besar siswa tidak menunjukkan sebagai komunitas intelektual. Tawuran, mengkonsumsi  Minuman keras, berpacaran secara bebas tanpa mengindahkan nilai-nilai etika kesopanan merupakan hal-hal yang tak lagi bisa dilepaskan dari siswa.

( bersambung....)

Jumat, 11 November 2011

SANTRI MENEMBUS PERADABAN

Geliat kaum santri melakukan pengembaraan intelektual sungguh luar biasa. Kaum santri tidak lagi menjadi manusia yang puas hanya dengan sarung dan kitab kuning. Mereka memiliki cita-cita tinggi dan ingin menjelajah keilmuan modern di luar pesantren. Hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman yang menuntut setiap manusia bergerak cepat. Sedikit saja lengah atau mengabaiakan kesempatan, maka peluang-peluang emas akan terlewatkan. Sebagaimana petuah Ronggowarsito bahwa di zaman edan, siapa yang tidak edan tidak kebagian. Tapi, seberuntung-beruntungnya orang edan, adalah mereka yang senantiasa eling (sadar) dan waspada. Jangan sampai hanya terjebak pada kenikmatan sesaat yaitu sekedar kenikmatan duniawi.

Nampaknya, kaum santri ingin menjadi orang yang eling tersebut. Ini karena mereka dibekali dengan pengetahuan ad-din (agama) sebagai penyangga kehidupan agar tidak terjebak dalam kubangan hedonisme semata. Dengan bekal tersebut, mereka telah siap menceburkan diri ke dalam hiruk-pikuk kehidupan di era modern agar tidak tertinggal zaman. Disinilah para santri diuji untuk membuktikan kemampuannya bersaing dengan kawan-kawan lain yang notabene non-santri. Pertarungan di kancah keilmuan pun berlangsung hangat dan menantang. Inilah wajah baru pendidikan Islam di era kontemporer.

Lebih lanjut, Asrori S. Karni dalam buku Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam, memotret fenomena santri yang sukses meraih kursi di Universitas ternama. Buku yang akan kita kupas ini, juga mengangat keberhasilan pendidikan Islam, baik Pesantren, Madrasah, maupun Universitas di segenap penjuru tanah air. Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, termasuk pemerintah. Sebelumnya, pendidikan Islam hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Bertahun-tahun, pendidikan Islam terutama pesantren, sama sekali tidak mendapat pengakuan sebagai bagian dari pendidikan nasional.

Bertahun-tahun pesantren dan pendidikan Islam lain selalu terpinggirkan. Padahal, telah ratusan tahun pesantren memberi kontribusi positif bagi generasi bangsa. Pesantren adalah pendidikan yang selalu terbuka untuk semua kalangan. Siapa pun asal memiliki kemuan, boleh masuk pesantren tanpa dipandang seberapa besar kemampuan ekonominya. Para Kyai telah mendidik putra-putri bangsa dengan tulus ikhlas tanpa mengharap bayaran. Sungguh sangat ironis jika kenyataan ini diabaikan oleh pemerintah. Apalagi generasi pesantren telah terbukti mampu memimpin Negara seperti Gus Dur, Hamzah Haz, dan lainnya.

Beruntunglah pemerintah saat ini mulai terbuka dengan pesantren dan bisa mengurangi diskriminasinya. Sejak dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pesantren dan Madrasah diakui menjadi bagian integral dari pendidikan nasional. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan adanya regulasi yang setara, program-program, serta asupan dana dari APBN. Berbagai beasiswa banyak diberikan Depag kepada sejumlah pesantren yang memiliki sekolah formal agar para lulusannya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Kisah sukses para santri di Perguruan Tinggi ternama saat ini bukan lagi omong kosong. Sebagaimana disebutkan dalam buku ini, ada santri lulusan Pondok Pesantren Khusnul Khatimah, Jalaksana, Kuningan Jawa Barat, bisa masuk ke ITB Bandung. Ia adalah Muhammad Reza Akbar, putra dari pedagang plastik di Pasar Tradisional Cidadas, Bandung. Jika melihat ekonomi keluarga, Reza tidak mungkin berharap kuliah. Beruntung ia bisa mengikuti tes seleksi beasiswa Depag dan bisa masuk ke ITB Bandung. Selain Reza, ada juga Ahmad Adhim, santri asal Pesantren Matholiul Anwar, Lamongan. Ia bersama kawan-kawan santri lainnya berhasil masuk ITS Surabaya dari beasiswa Depag.

Terkait prestasi para santri di Perguruan Tinggi, rupanya mereka tidak kalah saing dengan mahasiswa yang berasal dari SMU. Bahkan diantara mereka ada yang mampu meraih skor penuh : 4. Hal ini sebagaimana diraih oleh Yahman Faojio, santri lulusan MA di Pesantren Raudlotul Ulum, Pati, Jawa Tengah. Ia berhasil masuk IPB dan menggondol IP 4. Tentu saja ini menjadi kejutan bukan hanya bagi pesantren Raudlotul Ulum, tapi juga bagi IPB sendiri. Ini juga membuktikan bahwa generasi santri mampu bersaing dengan generasi lain yang notabene dari pendidikan umum. Meskipun diantara mereka juga ada yang kesulitan untuk beradaptasi sehingga mendapat IP kurang memuaskan. Tetapi semua itu adalah proses sehingga membutuhkan keuletan dan ketekunan.

Selain kisah sukses para santri, banyak juga pesantren yang mampu mengembangkan pendidikannya sehingga mendapat status Mu'adalah (persamaan). Misalnya, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Mbah Hamid Pasuruan, Pesantren Pabelan Magelang, dan Pesantren Darussalam Garut. Adanya status Mu'adalah ini, sangat memudahkan para lulusan pesantren melanjutkan ke pendidikan formal atau mendaftar jadi PNS. Kendala ijazah sebagaimana lazim terjadi dahulu, kini bukan lagi menjadi faktor penghambat. Ini karena ijazah Mu'adalah sudah setingkat pendidikan formal lainnya. Tentu saja, proses menuju Mu'adalah tidak serta merta (taken for granted) terjadi, tetapi melalui proses seleksi yang ketat. Pemerintah harus menilai beberapa hal, seperti komponen penyelenggara pendidikan, status pesantren, serta penyelenggara pesantren

Dengan suksesnya pesantren meningatkan kualitas pendidikannya berkat perhatian pemerintah, ke depan negri ini akan dipenuhi generasi yang cakap dalam intelektual dan luhur dalam moral. Mereka adalah generasi yang siap memajukan bangsanya dengan segenap jiwa raga. Bukan generasi bermental uang maupun kekayaan yang justru akan merusak bangsa ini. Kasus-kasus akut seperti korupsi yang justru banyak dilakukan oleh 'orang-orang pintar', pada akhirnya akan sirna karena ke depan orang-orang pintar tersebut lahir dari rahim pesantren yang berdedikasi tinggi dalam menjaga moralnya

Kamis, 04 Februari 2010

mengapa malu menjadi santri

Arus globalisasi yang tak terbendung menyisakan sebuah persoalan yang cukup kritis dan dramatis pada komunitas terbesar bangsa ini, sebuah paradigma baru telah dibuka menafikan kultur dan natur identitas santri yang selama ini menmjadi ....................
bersambung........